Sunday, June 21, 2009

Next Chapter of Kota Tua with KHI & JHC

Hari ini 21 Juni 2009 saya berkesempatan untuk heritage tourism lagi ke Kota Tua. Wisata kali ini diselenggarakan oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI) & Jakarta Heritage Community (JHC) dalam rangka HUT Jakarta yang ke-482. Acara ini bertajuk Wisata Kota Tua Gratis, Menelusuri sejarah dalam melestarikan Kota Tua Jakarta.

Acara dimulai di Taman Fatahillah, peserta dikelompokan sampai sekitar 20 orang per 1 tour guide. Tour pun dimulai di taman ini.

Taman yang terdapat di depan Museum Fatahillah ini zaman dahulu menjadi tempat sumber air dan tempat hukuman gantung.Konon, nama daerah Glodok bersumber dari suara sumber air yang ada di Taman Fatahillah yang berbunyi "gluduk-gluduk". Taman ini mengingatkan saya pada Taman di Athena tempat para filsuf Yunani mengolah pikir mereka. Selain itu terdapat juga 2 meriam Si Jagur menghiasi pemandangan taman ini. Meriam ini diangkut dari Malaka oleh VOC. Bentuk meriam ini "sangat menarik" (jika pembaca penasaran bisa melihat langsung kesana, hehe), di depannya terdapat sekepal tangan dengan gestur tertentu. Di atas meriam ini terdapat tulisan "Ex me ipsa renata sum" yang artinya Saya Lahir dari Diri Sendiri. Kalau saya boleh menafsirkan, mungkin tulisan tersebut ada hubungannya dengan proses pembuatannya. Meriam Si Jagur ini dibuat dari 16 meriam kecil yang dileburkan. Selain di taman Fatahillah, meriam ini juga terdapat di dalam Museum Fatahillah. Menurut tour guide, dimana ada meriam ini, pasti menjadi incaran pengunjung. Misalnya dulu meriam ini sempat disimpan di Jembatan Kota Intan sehingga Jembatan ramai dikunjungi. Sebagai strategi pengelola museum, meriam ini akhirnya disimpan juga di dalam Museum Fatahillah agar dengan fenomena tersebut museum mendapat banyak pemasukan ;).

Tour dilanjutkan dengan menyusuri daerah-daerah sekitar kota tua dan melihat gedung-gedung kuno yang menjadi pusat perniagaan maupun perbankan zaman Belanda dulu. Pertama yaitu melewati jalan Pintu Besar Utara, Escompto Bank, Jalan Bank. Yang menarik dari Escompto Bank yaitu terdapat 5 lambang yang menunjukan kepemilikan/cabang daerah. Untuk Batavia sendiri lambang diwakili oleh gambar seorang dewi. Escompto Bank ini merupakan cikal bakal dari Bank Niaga.

Selanjutnya, menyusuri jalan Kali Besar Barat. Di daerah sini, tercium bau yang memprihatinkan. Ya, terdapat kali yang kotor dan tak terurus. Dulu, kali ini menjadi tempat berlabuhnya kapal dan bahkan menjadi tempat pemandian wanita Belanda. Tapi kini, membayangkan dua hal tersebut sangatlah tidak mungkin. Kali dengan air hitam,hanya menjadi bahan polusi yang tak indah dipandang mata. Masyarakat sudah mengajukan kepada pemerintah untuk dilakukan pengerukan tetapi hal itu sampai kini belum terlaksana. Kedalaman kali ini hanya setinggi 5 meter tetapi lumpurnya sedalam 15 meter dan berujung ke Laut Jawa. Oleh karena itu, kali ini menjadi tempat strategis untuk tempat pertukaran perniagaan.

Selama melewati jalan Kali Besar ini, ditunjukan pula gedung-gedung yang ada di sekitarnya. Pertama yaitu Gedung Toko Merah. Gedung tersebut dahulu merupakan rumah Dinas Baron, VOC yang terkenal kejam dan tercatat melakukan pembantaian 500 orang lebih warga Tionghoa. Kemudian melewati Gedung Athena, Gedung Samudera Indonesia, Gedung Chartered Bank (sekarang Standard Chartered), Hotel Batavia, dll. Gedung-gedung tua di sekitar kali besar ini, masih digunakan sebagai pertokoan hingga tahun 1994. Setelah itu pertokoan berpindah ke Segitiga Mas.

Tour dilanjutkan menuju Jembatan Kota Intan, melewati Jalan Kopi yang merupakan jalan pintas menuju tempat dinas yang jika dibahasa-Inggriskan bermakna Unrest (tak pernah istirahat). Jembatan Kota Intan berwarna merah dan bentuknya seperti gerbang yang dapat terbuka. Dahulu, jika ada kapal yang melewati jembatan ini, maka Jembatan akan dibuka. Jembatan ini berulang kali berubah nama hingga akhirnya menjadi jembatan Kota Intan.

Tempat terakhir yang dikunjungi yaitu Gedung Cipta Niaga. Gedung tersebut kondisinya sangat memprihatinkan dan bahkan hampir roboh. Padahal, dulu tempat tersebut merupakan pusat perniagaan. Sekarang, karena kondisi tempatnya yang cukup mengerikan, maka dimanfaatkan oleh sineas untuk pembuatan film horor (kuntilanak). Namun, menurut informasi pembuatan film tersebut malah membuat kondisi gedung lebih buruk lagi (dengan pemasangan properti film dsb.). Bagian gedung lantai 3, kondisinya lebih mengkhawatirkan lagi karena banyak oknum yang tidak bertanggung jawab mencuri kayu jati yang menjadi pondasi bangunan untuk dijual dengan harga murah. Padahal kayu jati tersebut bernilai historis dan seharusnya berharga ribuan dolar. Sebenarnya pemilik gedung (pihak swasta) ingin melakukan pemugaran terhadap bangunan ini, tetapi terbentur aturan pemerintah mengenai pelestarian gedung/bangunan bersejarah. Diharapkan Kedua belah pihak bisa sama-sama bijak dalam melestarikan bangunan-bangunan bersejarah ini.

1 komentar:

Anonymous said...

aktif nge-blog yah mbak sekarang, salut euy :D

saran: kategorinya dibanyakin, biar filenya lebih terorganisasi ;)